30 September 2008



GENDERANG TAKBIR BERKUMANDANG
SEIRING DATANG HARI KEMENANGAN

KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1429H

MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN


28 September 2008

Sapi Glonggongan

HIKAYAT SAPI GLONGGONGAN

Siang itu sang sapi dibawa kekandang
Kedua kaki depannya diletakkan lebih tinggi
Kepala dihadapkan keluar
Kala itu sang jagal mengambil selang berisi air

Dipaksakan sapi itu meminum air yang disalurkan dari selang
Sapi itu meronta, berusaha lepas, namun apa daya tak mampu
Air itu terus menggelontor kedalam pencernaannya
Sang sapi tak mampu bergerak, perutnya kian menggembung

5-6 jam kemudian....
Sapi itu nampak bengkak, berdiripun sudah terhuyung
Dibawalah sapi itu ke tempat penjagalannya
Dibawa tanpa perikebinatangan

Sang sapi hanya pasrah, tak mampu lagi dia bergerak
Dengan badan yang terisi air begitu banyak
Disembelihlah sapi itu dengan semena-mena
Lihat!!!! darahnya cair....

Mengalir bagai air, tidak seperti rekannya yang kering
Saat lambungnya diburai....
Air mengalir dengan deras...
Air yang diminumkan paksa kepadanya...

Sang sapi tamat riwayat dengan tidak hormat
Hanya karena ambisi mengejar berat badan sang majikan
Haramlah dagingnya karena tercemar (menurut MUI)
Tercemar penyakit dari air dan nafsu serakah demi uang

Rugilah pembeli
Untunglah sang pemilik dengan jalan setan
Hanya dengan alasan kurang gemuk
Banyak nyawa sapi menjadi korban

Daging glonggong, daging basah
Nampak gemuk, namun sangat basah
Hati-hati membelinya
Karena mudah busuk dan mudharat

===========================

Seperti tahun2 sebelumnya, menjelang HARI RAYA IDUL FITRI, permintaan daging sapi adalah tinggi sekali di indonesia. tetapi sedih sekali peredaran sapi glonggongan masih banyak ditemukan diberbagai daerah (seperti diBoyolali <90%>, kediri, tulungagung dan mungkin daerah lainnya juga banyak)

SEDIH sekali membaca cerita sapi glonggonan..??? aku mulai meneteskan air mataku, ya…..

bukan lantaran pembeli atau penjual, melainkan perilaku terhadap hewan sapi tersebut.. bayangkan, Sapi yang harusnya oleh tukang jagal di potong dengan baik-baik, di beri makan dan setidaknya mendapat perlakuan yang baik…..

ternyata, sebaliknya…. sebelum pemotongan, mereka tidak diberi makan selama beberapa hari, tetapi mereka hanya memberikan air untuk isi perutnya, tidak dengan minum baik-baik melainkan dengan selang sepanjang 1 meter atau lebih di masukkan paksa ke mulut sapi hingga ke dalam saluran pencernaan d bawah mulut, MasyaAllah……

Setelah itu, air kran di kucurkan melalui selang air tersebut, hingga perut si sapi mengeras, baru pengucuran di hentikan. tidak hanya berhenti setelah itu, meskipun sapi lemah karena tidak makan dan merasakan berat air di perutnya, tetap saja si penjagal dkk memasukkan selang setiap frekuensi waktu tertentu, kemudian menyiram tubuh si sapi dengan air …… tidak hanya si sehat, yang sudah tergeletak lemas masih di perlakukan sama, Astaghfirullah al adzim…..

aku menangis, ketika melihat si sapi hanya terdiam tak bisa apa-apa, hingga sapi kejang-kejang sekarat dengan kondisinya, barulah si jagal memotong sapi tersebut……

Sungguh biadap, sebagai manusia harusnya mereka memperlakukan dengan baik, apa yang di lakukan mereka adalah penyiksaaan yang ku yakin merupakan dosa besar, dalam hati bahkan aku sempat berdoa, semoga Allah tidak membiarkan sapi-sapi yang tidak berdosa itu mendapatkan siksaan, dan Allah pasti akan memberi balasan atas perbuatan mereka…..

Sungguh sapi-sapi yang malang…..

aku sungguh benar2 mengutuk perbuatannnya, karena alasan menjual sapi dengan kondisi seperti itu memiliki berat timbangan yang selisih banyak dengan sapi melalui pemotongan biasa…..

mereka bisa mengeruk untung yang lebih banyak…. MasyaAllah….

27 September 2008

CEGAH SAPI ANDA DARI CACINGAN


Ternak ruminansia, termasuk sapi perah, memang rawan serangan cacing. Cacing pengganggu ini beragam jenisnya seperti cacing gilig, cacing pita, cacing pipih misalnya cacing hati dan trematoda, yang biasa terdapat di organ pencernaan.

Secara alami, jenis cacing ini pasti ada dalam tubuh sapi. Namun, selama populasinya belum mencapai ambang tertentu, cacing tersebut tidak mempengaruhi pertumbuhan sapi. Tiap jenis cacing berbeda ambang serangannya. Ada yang dalam jumlah sedikit sudah menyebabkan sapi sakit parah.

Ciri-ciri Cacingan
Tanda sapi perah terserang cacingan biasanya bisa tampak dari kondisi fisik, seperti lemah, kurang sehat, bulunya kusam, dan paling mudah bisa dilihat dari kotorannya yang terdapat larva cacing.

Bila tidak segera dilakukan pengobatan, kondisi fisik sapi akan menurun karena cacing ikut menyerap sari makanan dari dalam tubuh sapi. Bahkan serangan cacing pita dan cacing hati yang parah akan menyebabkan kematian.
“Pencegahan paling mudah adalah pemberian obat cacing secara rutin,” saran drh. Rositawati Indrati, MP, pakar penyakit ternak dari Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Malang, Jatim, kepada AGRINA. Karena di Indonesia serangan tidak spesifik satu jenis cacing saja, Rosita menganjurkan penggunaan obat cacing berspektrum luas.


Sanitasi kandang penting dilakukan untuk menghindari kontak kotoran mengandung larva cacing dengan sapi sehat. Pakan yang berupa hijauan sebaiknya dilayukan dahulu guna menghindari larva cacing termakan oleh ternak bila diberikan dalam kondisi segar. Rosita menyarankan pula cara pemutusan siklus hidup cacing melalui penggembalaan ternak di luar kandang dalam waktu tertentu.
Pengalaman Eko, peternak sapi perah di Blitar, Jatim, dalam mencegah serangan cacing cukup dapat diandalkan. Dia mewaspadai sapi-sapi yang kelihatan kurus, bulunya kusam, napsu makannya besar tetapi produksinya rendah, dan sapi yang bau kotorannya amis.

Sapi-sapi dengan tanda seperti itulah yang diyakininya terkena cacingan. Untuk mencegah cacingan, dia memberikan obat cacing secara teratur, 1—2 bulan sekali, tergantung umur sapi.

Sementara untuk mengantisipasi adanya telur cacing dalam rumput gajah, dia meminumkan temulawak kepada sapi-sapinya sebulan sekali. Kecuali itu, sanitasi juga dilakukannya baik pada kandang maupun alat-alat pemberi pakannya.


Beberapa peternak sapi perah lain memberikan jamu-jamuan yang sifatnya juga mencegah serangan cacing. Misalnya, temu ireng dan ekstrak jambe untuk mengatasi serangan cacing pita, biji waluh/labu dalam pengobatan serangan cacing.

Pemberian bahan obat tradisional tersebut, berdasarkan pengalaman mereka, memberikan manfaat yang nyata. Kini studi tentang pemberian jamu-jamuan ini sudah mulai dilakukan beberapa lembaga penelitian.

Cacing Taxocara
Umumnya serangan cacing dapat terlihat dari kondisi fisik sapi dan kotorannya. Namun ternyata ada jenis cacing yang tidak terlacak dari keadaan fisik sapi maupun penampakan kotorannya.

“Jenis cacing Taxocara vitulorum tidak bisa dilihat larvanya pada kotoron. Malah saat susunya disaring baru diketahui serangannya,” ungkap Rositawati yang telah melakukan penelitian pelacakan Taxocara ini.


Taxocara termasuk larva viseral, baru bisa lihat larva pada kotoran pedet (anak sapi) yang menyusu induk terserang. Bila tidak terdeteksi sejak dini, dikhawatirkan induk sapi perah yang terserang cacing jenis ini akan menularkan pada anaknya.

Untuk pencegahan, pedet harus rutin diberi obat cacing sampai berumur 6 bulan.
Sapi perah dewasa yang terserang Taxocara tidak terlihat sakit, tetapi kualitas susunya akan menurun. Bila diperiksa secara teliti, pada susunya jelas akan mengandung larva Taxocara.

Meskipun sekarang paparan Taxocara pada susu belum masuk standar susu yang dikirim ke industri susu (malcodex /SNI ternak), pada masa mendatang dimungkinkan penolakan dari pihak industri susu karena cemaran cacing tersebut.

“Untuk itu telah dilakukan penelitian serodiagnotik, yaitu pemeriksaan serum sapi terserang dengan mengambil larva untuk dihasilkan antigen sehingga keberadaannya bisa dilacak,” jelas Rositawati.


Proses serodiagnotik tersebut, menurut Rosita, sudah dipatenkan oleh Fakultas Peternakan Unibraw. Melalui serodiagnotik dengan cepat, sapi yang terserang masih bisa diobati. Diharapkan, dengan penelitian lanjutan didapatkan hiperimun serum untuk pengobatan sapi terserang Taxocara.

25 September 2008

DETEKSI BIRAHI PENENTU KEBERHASILAN "IB"

PERIODE hidup sapi direkomendasikan hanya sampai delapan tahun atau setara jumlah beranak sapi betina. Maka, memelihara sapi betina secara ekonomis jelas menguntungkan, asalkan dapat menghasilkan keturunan (bunting).

Sejak inseminasi buatan (IB) pertama kali diperkenalkan ke peternak di tanah air 28 tahun silam, terjadi perubahan pola pemeliharaan ternak sapi dari jenis lokal ke crossing (silang). Kini IB makin diterima peternak, sehingga dalam mengawinkan sapinya mulai ada ketergantungan terhadap teknologi tersebut.

Namun celakanya, masih sering ditemui kegagalan dalam penerapan IB. Hal itu ditandai dengan adanya gagal bunting. Berdasarkan survei yang dilakukan Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), 70% penyebab kegagalan sapi bunting akibat deteksi birahi yang dilakukan peternak tidak tepat. Umumnya akibat pengetahuan peternak masih kurang. Sedangkan faktor kegagalan lainnya antara lain dari usia sapi awal kawin (sapi dara), kecukupan gizi sapi betina, kemampuan petugas IB atau inseminator dan kualitas bibit jantan.

Melihat kasus tersebut, pengamatan atau deteksi birahi perlu dikuasai peternak agar IB berhasil. Birahi pada sapi dapat ditandai dengan ciri-ciri antara lain sapi gelisah, warna kemerahan dan terjadi penebalan pada vagina, nafsu makan turun bahkan hilang sama sekali. Serta timbul perilaku menaiki sapi lain dan keluarnya lendir dari alat kelamin (vulva).

Dari tanda-tanda birahi tersebut, pedoman yang paling tepat bagi peternak untuk melaporkan kepada petugas IB bila sapi sudah mengeluarkan lendir yang cukup banyak dari alat kelaminnya. Banyak terjadi kasus, tanpa memperhatikan leleran cairan dari vulva, tapi peternak sudah memanggil inseminator. Bahkan ada yang melapor karena sapinya sudah ‘teriak-teriak’. Padahal tidak semua sapi betina memperlihatkan tanda itu, banyak juga yang diam saja (silent haid).

”Pela-pelu”

Dalam teknologi IB, yang paling valid dipakai sebagai dasar laporan ke inseminator adalah keluarnya cairan kental, setelah tanda-tanda lainnya semacam vulva menebal, dan tampak kemerahan. Sedangkan tanda-tanda lainnya hanya sebagai awal birahi. Keluarnya cairan kental dari vulva sering disebut peternak sebagai pela-pelu (standing haid).

Stadium standing haid dipakai inseminator sebagai pedoman untuk menandai dan menghitung kapan sel telur turun dari indung telur. Fase ini menjadi dasar hitungan turunnya telur, atau terjadi sekira 10 jam kemudian dari stadium ini. Maka, inseminator selalu bertanya kepada pemilik sapi, kapan pela-pelu keluar.

Usai memperoleh inseminasi, peternak masih harus tetap melakukan pengamatan pada sapi betina. Siapa tahu pela-pelu yang umumnya hanya keluar selama satu hari, tapi karena kesuburannya bisa lebih dari satu hari. Dalam kasus ini, peternak harus melapor kembali ke inseminator agar melakukan IB ulang. Pedoman yang dipakai untuk mengawinkan sapi ada pada pela-pelu yang terlihat pada hari terakhir. Jika masih terlihat pela-pelu di hari kedua, sebaiknya dilakukan IB ulang. Tanpa mengulang IB, kemungkinan bunting kecil sekali. Hal ini perlu dipaparkan agar tidak ada lagi anggapan setelah disuntik pasti bun ting, sehingga mengabaikan pengamat an kemungkinan masih adanya tanda birahi hari berikutnya.

Penyakit kelamin

Teknologi inseminasi buatan (IB) atau artificial insemination (AI) semakin dikenal peternak di tanah air. Sejak dikenalkan pertama kali pada tahun 1976, IB yang sering juga disebut kawin suntik juga telah menghasilkan ternak unggul hasil persilangan dengan ternak lokal.

Salah satu keuntungan IB, khususnya pada sapi, dapat mencegah penularan penyakit kelamin. Misalnya brucellosis yang dapat menyebabkan sapi betina mandul dan bersifat zoonosis. Penyakit semacam itu dapat dihindari karena sperma yang disuntikkan dengan insemining gun (pistol inseminasi) benar-benar berasal dari pejantan unggul.

Di BPMBPT (Balai Pengembangan Mutu Bibit dan Pakan Ternak) DI Yogyakarta misalnya, sapi yang disadap spermanya selalu dicek kondisi kesehatannya. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara kualitas sperma.

Selain itu, IB juga mengatasi kelemahan kawin alamiah. IB dapat dilakukan kapan pun, asalkan kondisi sapi betina sedang subur. Teknologi ini juga sangat efisien dan hemat transportasi, karena tidak perlu membawa pejantan ke suatu tempat. Jadi cukup membawa spermanya yang disimpan di dalam straw ke peternakan.

Standar sperma sapi yang layak digunakan untuk keperluan IB sebelum disimpan di dalam straw, harus memiliki konsentrasi 700 juta spermatozoa. Jika konsentrasi berada di bawah angka tersebut biasanya dibuang, karena diyakini secara ilmiah tidak dapat membuahi.

Setelah sperma sapi dimasukkan ke dalam straw, konsentrasinya menjadi 25 juta spermatozoa (1 straw berisi 0,25 ml). Standar warna straw setiap jenis sapi sudah ditentukan secara internasional. Putih untuk sapi simmental dan merah untuk sapi limousin. Selanjutnya sperma dalam straw dibekukan di tabung N2 cair ber suhu minus 196 derajat Celsius. Selama berada di dalamnya, sperma tersebut akan awet selama bertahun-tahun, hingga 10 tahun.*

*Drh. Nur K.S.,
Peternak sapi di Ngaglik, Sleman, DI Yogyakarta.

MEMILIH HEWAN YANG SEHAT


Pengetahuan dalam memilih hewan yang sehat sangat penting terutama bagi masyarakat yang akan membeli langsung hewan kurban dari penjualnya. Hewan dapat dipilih berdasarkan hasil judging. Judging adalah penilaian tingkatan ternak dengan beberapa karakteristik penting untuk tujuan tertentu secara subjektif. Judging terdiri atas tiga langkah yaitu, penilaian melalui kecermatan pandangan (visual), penilaian melalui kecermatan perabaan (palpasi), dan penilaian melalui pengukuran tubuh.

Ternak yang sehat dapat dipilih dengan melakukan penilaian melalui pandangan dari samping, belakang, dan depan atas ternak tersebut. Untuk mengetahui bahwa ternak dalam kondisi sehat, maka perlu perlu diketahui karakteristik ternak yang sehat. Karakteristik tersebut meliputi, keadaan mata dan kulitnya normal, pergerakannya tidak kaku, tingkah laku dan nafsu makan normal, pengeluaran kotoran dan urine tidak sulit, tidak ada gangguan dalam berjalan dan berdiri, serta memiliki respirasi dan sirkulasi darah yang normal.

Ternak (sapi) yang sehat memiliki kulit yang lentur dan mudah dilipat. Jika kulit ternak ditarik dan dijepit kemudian lipatan tidak menghilang, maka ternak tersebut kehilangan cairan. Keadaan ini terjadi pada ternak yang terserang diare. Mata, mulut, dan hidung ternak yang terdapat lendir berlebihan menunjukkan ternak tersebut dalam keadaan sakit. Cara ternak berjalan dan berdiri dapat menjadi abnormal ketika ada bagian tubuh yang sakit. Jika kuku ternak terinfeksi, maka ternak tersebut akan terlihat pincang.

Kotoran dan urine harus keluar secara teratur, tidak berdarah, dan memiliki kepadatan normal. Jika kotoran keluar dalam keadaan cair dan menempel di sekitar ekor, maka ternak tersebut terkena diare. Rambut yang tumbuh di sekitar kulit harus tumbuh normal, halus, dan bercahaya. Ternak yang terkena anemia akan memiliki rambut yang kasar, kering, dan terjadi kerontokan. Kasus seperti ini akan terlihat pula pada ternak yang terinfeksi dan mengalami defisiensi nutrisi.

Selanjutnya, penilaian dapat dilakukan dengan pengamatan tulang-tulang rusuk (ribs) untuk memilih ternak yang gemuk. Ternak kurus tidak selalu dalam keadaan sakit, namun ternak yang gemuk menandakan produksi daging yang optimal. Tulang rusuk sapi berjumlah 13 buah. Semakin sedikit tulang rusuk yang membayang di balik kulit, maka ternak tersebut semakin gemuk. Hal ini terjadi karena tulang rusuk tertutup oleh perdagingan dan lemak.

Setelah melakukan penilaian secara visual, ternak yang akan dijadikan hewan kurban dapat dinilai dengan melakukan perabaan dan pemeriksaan dengan tangan. Ternak yang sehat memiliki sirkulasi darah yang normal. Tekanan ventrikel jantung menyebabkan darah melalui arteri. Tekanan jantung dapat dirasakan dengan meletakkan tangan pada daerah jantung. Detak jantung dapat diperiksa dengan mengukur tingkat pulsa ternak dalam satu menit. Pulsa ternak dapat dirasakan dengan menekan secara lunak jari telunjuk dan jari tengah pada arteri yang berada dekat dengan permukaan kulit. Sapi memiliki pulsa sebanyak 60 hingga 70 dan domba sebanyak 60 hingga 70. Tingkat pulsa akan meningkat jika ternak dalam keadaan demam.

Ternak yang sehat akan melakukan respirasi secara ritmik dan tenang. Tingkat respirasi dapat diketahui dengan mendekatkan telapak tangan di depan hidung ternak dengan menghitung jumlah penarikan nafas dalam satu menit. Tingkat respirasi sapi sebanyak 10 hingga 30 dan domba 10 hingga 20. Ternak yang sakit dan berada dalam temperatur tinggi akan memiliki tingkat respirasi yang tinggi.

Kegemukan ternak (sapi) dapat diketahui dengan meraba perkembangan otot di antara tulang processus spinosus (tulang belakang) dengan processus transversus (tulang rusuk rudimenter). Pada ternak yang gemuk, processus transversus tidak dapat teraba oleh tangan dan terasa sekali perlemakan yang tebal di balik kulit. Pada domba yang tertutup rambut tebal, perabaan dilakukan dengan tangan terbuka pada punggung dari arah belakang dekat pangkal ekor sampai ke leher dengan jarak perabaan tidak lebih dari 5 cm.

Apabila memungkinkan, ternak untuk hewan kurban dapat dinilai dengan mengukur berbagai ukuran-ukuran tubuh seperti, panjang badan, lingkar dada, tinggi pundak, lebar dada, dan dalam dada. Ukuran yang penting dalam mengetahui kegemukan dan berat tubuh ternak tersebut adalah lingkar dada dan panjang badan. Lingkar dada diukur melingkar di belakang sendi bahu (os. scapula).

Umur ternak dapat diketahui dengan melihat keadaan gigi seri (incicors). Jika ternak memiliki satu pasang gigi seri permanen, maka ternak tersebut berumur 1-1,5 tahun untuk domba dan 1,5-2 tahun untuk sapi.

Jika semua faktor tadi telah dipertimbangkan dan dilakukan dengan baik, maka akan diperoleh hewan kurban yang sehat dan aman. Sebelum dikonsumsi, daging hewan kurban harus melalui proses pemanasan dan pemasakan sempurna untuk menghindari penularan penyakit yang ada dalam daging. Hari Raya Iduladha merupakan saat yang tepat untuk kembali meningkatkan konsumsi protein hewani dan melakukan sistem kesehatan hewan yang terpadu.

Kesehatan hewan harus dipandang sebagai bagian dari kesehatan masyarakat. Penyediaan bahan pangan asal hewan bagi masyarakat harus memenuhi standar kesehatan. Kesehatan hewan merupakan faktor penting dalam pembangunan subsektor peternakan secara umum yang dituntut untuk selalu menghasilkan keluaran yang aman bagi konsumen. Sistem kesehatan hewan harus dibangun dengan mengubah pendekatan penyakit hewan (animal disease approach) menjadi pendekatan kesehatan hewan (animal health approach) secara utuh.

14 September 2008

Mengharap "Harga Gemuk" Sapi Potong

Mengharap “Harga Gemuk” Sapi Potong

Kemarau panjang yang segera berlalu tahun ini berdampak melambungnya harga bahan pakan dan akhirnya membengkakkan biaya produksi bagi peternak sapi potong di kawasan Yogyakarta.

Bila dihitung-hitung secara bisnis, menurut Ir. Iswanto, Manajer Farm PT Semesta Buana Surya Jaya, perusahaan penggemukan sapi (feedlot) di Desa Sumbermulyo, Kec. Bambanglipuro, Kab. Bantul, biaya penggemukan sapi mencapai Rp17.000/kg. Sekitar Rp8.000 tersedot dalam pembelian pakan, selebihnya untuk membayar tenaga kerja, listrik, penyusutan, air, dan sebagainya.

Di antara komponen pakan, harga bekatul melonjak cukup nyata. Harga bekatul berkualitas bagus dari Rp1.000/kg pada masa sebelum bencana gempa melanda Yogya, dan kini menjadi Rp1.300/kg. Sedangkan biaya pembelian hijauan, khususnya jenis kalanjana, mencapai Rp5.000/ikat atau Rp2.500—Rp3.000 dari total biaya produksi daging per kilo.

Peternak yang tidak melakukan kiat tertentu dipastikan bakal merugi. Pasalnya, harga sapi hidup pada minggu pertama Desember baru mencapai sekitar Rp17.000—Rp18.000/kg. Apalagi harga sapi bakalannya saja naik dari Rp16.800/kg menjadi Rp18.500/kg.

Hal berbeda diungkap Haryanto, SPt, Staf Produksi PT Lembu Perkasa Karya Mandiri, feedlot. Beliau mengatakan biaya penggemukan sapi blasteran lokal di perusahaan yang kini memelihara 33 ekor sapi tersebut sekitar Rp10.000—Rp11.000/kg hidup. Angka yang sama juga diungkap Reza Ferari, peternak sekaligus pemotong sapi di kawasan Menteri Supeno, Yogyakarta.

Kiat Khusus

Menghadapi situasi yang kurang menguntungkan bagi usahanya, Iswanto mengaku harus melakukan kiat khusus untuk menekan biaya produksi. “Yang saya lakukan, mengurangi jatah konsentrat yang biasanya 8 kilo menjadi 5—6 kilo, meramu sendiri pakan, menambah porsi rumput kalanjana sampai sekenyangnya sapi,” ungkapnya.


Lebih jauh dikatakan Iswanto, dalam hal bekatul, ia mengoplos bekatul, dari kualitas bagus 25%, sedang 50%, dan kurang bagus 25%. Untuk meningkatkan nafsu makan sapi, ia menambahkan jamu-jamuan. Sementara pasokan rumput kalanjananya diupayakan dengan memperluas kebun sendiri.


Dengan trik seperti itu, biaya produksi bisa ditekan hingga sekitar Rp10.000/kg. Kualitas daging cukup bagus karena kadar lemaknya rendah dan kondisi seratnya bagus.

“Kalau biaya pakan di bawah Rp10.000/ekor/hari, pertambahan berat badan harian sapi tidak sampai satu kilo. Padahal usaha penggemukan itu kalau pertambahan berat badannya itu tidak di atas satu kilo, maka tidak jalan,” terang Siswanto yang kini mengelola 107 ekor sapi blasteran dan 30 ekor sapi Jawa.


Upaya yang dijalankan Iswanto memang mampu menekan biaya produksi tetapi ada konsekuensinya. Dengan periode penggemukan yang sama, 4 bulan, penambahan bobot rata-rata harian (average daily gain-ADG) berkurang 0,1 kg.

Menurut pengalamannya, kalau komposisi dan jumlah pakan seperti biasanya, sapi keturunan Simmental dapat mencapai ADG 1—1,25 kg, Limousin 1 kg, dan sapi Jawa 0,8 kg.

Sapi Kurban

Menghadapi Hari Raya Kurban (Idul Adha) yang jatuh pada 31 Desember, Iswanto dan Haryanto sudah mempersiapkan diri. Keduanya memelihara sapi Jawa, istilah untuk sapi berkulit putih, dengan kualifikasi fisik yang bagus.

Sapi itu harus jantan, minimal berumur 2 tahun, tidak cacat, dan tidak dikebiri. Pemeliharaan sapi kurban tidak selama sapi untuk dikonsumsi. Kalau sapi konsumsi butuh waktu 4 bulan, sapi kurban cukup 3 bulan.


Harga sapi kurban berbeda dari sapi potong konsumsi. “Harga pasaran sapi kurban sekitar Rp20.000/kg,” ujar Haryanto yang menjual sapinya ke sekitar Yogya, Kebumen, dan Wonosobo. Sementara itu, Reza memperkirakan harga dapat menembus angka Rp21.000/kg.


Ketika ditanya mengenai peluang meraih penjualan menjelang Hari Raya Kurban nanti, baik Haryanto maupun Iswanto mengaku optimis dapat menghabiskan isi kandang masing-masing.

Apalagi, “Kami punya pelanggan yang sudah memesan,” ujar Iswanto. Ia menambahkan, penjualan sapi kurban lebih banyak menggunakan sistem per ekor, bukan kiloan. Pasarannya bisa sekitar Rp5,5 juta/ekor.


Berbicara soal pasar sapi potong, Iswanto sempat memaparkan kondisi beberapa bulan pascagempa yang cukup memprihatinkan. Waktu itu sempat akses pasar para peternak sangat sempit, hanya mengandalkan pasar lokal, yaitu di Kecamatan Pleret dan Prambanan.

Terlebih, perusahaannya telah menjalin kemitraan berupa penjualan sapi potong dan pengambilan sapi bakalan dari para pelaku bisnis sapi potong di kedua wilayah tersebut. “Sampai sekarang kita tidak mengirim sendiri ke Jakarta atau tempat lain karena risikonya tinggi,” jelasnya.


Syukurlah saat ini pasar sapi potong sudah lebih baik meskipun daya beli masyarakat, terutama sekitar wilayah bencana, belum bisa diharapkan karena mereka memprioritaskan dana untuk rehabilitasi pemukiman.

“Sekarang serapan pasar sudah pulih. Kita kembali bisa menjual 15-20 ekor sapi per bulan. Mudah-mudahan pada lebaran haji nanti harga akan naik,” harap Iswanto.


sumber: http://agrina-online.com