30 June 2009

Anak kedua kami

Alhamdulillah pada hari Ahad tanggal 28 Juni 2009 jam 5.05 pagi anak Kami yang kedua lahir dengan normal dengan berat 3,5kg panjang 54cm, di Gombak Medical Centre – Kuala Lumpur. Kami berikan nama:


NAWWAR AFUZA BIN MUNIF

(nawwar)

semoga menjadi anak yang sholeh, berbakti kepada Agama, kedua orang tua, dan negara..amin, mohon doanya dari rekan rekan semua....makasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Munif dan keluarga



13 June 2009

MENGUBAH JERAMI KERING MENJADI DAGING SAPI

Indonesia masih kekurangan daging sapi. Kekurangan tersebut selama ini dipenuhi dari impor daging beku, sapi siap potong maupun sapi bakalan untuk digemukkan. Kendala utama yang mengakibatkan adanya kekurangan daging sapi tersebut adalah jumlah induk betina sapi kita hanya tinggal sekitar 11 juta ekor. Idealnya kita memiliki induk betika sekitar 14 sd. 15 juta ekor. Namun di luar kendala kekurangan induk sapi tersebut, produktivitas sapi potong kita juga sangat rendah. Kalau sapi impor rata-rata mampu tumbuh dengan peningkatan bobot badan 1 kg per hari, maka sapi lokal kita hanya akan bertambah berat tara-rata 0,5 kg. per hari. Kendala produktivitas sapi potong kita antara lain disebabkan oleh kurangnya hijauan sebagai ransum, terutama pada musim kemarau. Di Jateng, DIY dan Jatim, limbah pertanian berupa tebon jagung dan jerami kering pun digunakan sebagai pakan sapi. Padahal nutrisi dari tebon dan jerami kering tersebut sudah sangat rendah. Makanan tambahan yang diberikan oleh peternak kepada sapi mereka hanyalah dedak (padi serta jagung), ampas tahu, tetes serta limbah pertanian lainnya. Namun di lain pihak, jerami padi banyak yang dibakar sia-sia. Di kawasan Karawang, Jawa Barat atau di sentra-sentra penghasil padi lainnya, sering kita saksikan pembakaran jerami kering di sawah-sawah. Padahal di lain pihak, para peternak sapi di Gunung Kidul (DIY) serta Wonogiri (Jateng) sedang kekurangan hijauan untuk pakan sapi mereka.

Pola peternakan sapi rakyat di Jawa, Bali dan Lampung, agak berbeda dengan di luar Jawa/Bali/Lampung. Di Jawa/Bali/Lampung, ternak sapi selalu dikandangkan. Sementara di luar kawasan tersebut, sapi diliarkan di ladang-ladang atau hutan. Di Jawa/Bali/Lampung, peternak bisa berfungsi sebagai breeder, namun bisa pula sebagai penggemuk sapi kereman. Yang dimaksud sebagai breeder adalah, yang mereka pelihara sapi betina. Hasil yang mereka harapkan adalah anak sapi. Biasanya untuk proses pembuntingan, mereka menggunakan cara inseminasi buatan (kawin suntik). Kalau anak yang diperoleh jantan, akan digemukkan sebagai sapi potong. Apabila betina akan dibesarkan sebagai calon induk. Keuntungan dari memelihara induk sapi betina ini relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan memelihara sapi bakalan untuk digemukkan sebagai sapi potong. Namun para peternak sapi di Jawa/Bali/Lampung biasanya tidak merasa dirugikan dengan memelihara sapi betina, sebab mereka juga sekaligus menggemukkan sapi jantan hasil peternakan mereka. Selain itu, di kawasan ini sapi betina tersebut juga bisa berfungsi sebagai tenaga kerja membajak sawah. Hingga di Jawa/Bali/Lampung, peternak tidak pernah membeda-bedakan fungsi peternakan mereka, apakah sebagai breeder atau sebagai penggemuk sapi kereman.

Jenis sapi lokal yang banyak dibudidayakan masyarakat Indonesia adalah sapi zebu, peranakan ongole (PO), sapi bali, sapi madura (silangan alami antara zebu, ongole dan bali), american brahman dan australian brahman. Kadang-kadang, di masyarakat juga kita jumpai jenis sapi yang tidak lagi ketahuan galur/rasnya. Sebab di kalangan masyarakat pedesaan, dulu ada kebiasaan untuk mengawinkan sapi betina mereka, tanpa pernah memperhitungkan jenis pejantannya. Akibatnya sapi PO bisa kawin dengan sapi madura, sapi brahman dan sebagainya. Keturunan yang diperoleh, tentu menjadi tidak murni lagi. Dulu, perkawinan sedarah (inbreeding) atau antar saudara, juga ikut pula memerosotkan kualitas sapi yang ada. Terjadi degradasi kualitas sapi yang ada di masyarakat. Upaya pemerintah dengan melakukan inseminasi buatan, berikut penyuluhan kepada para peternak, telah memperbaiki kualitas sapi rakyat. Hingga sekarang galur sapi yang dipelihara masyarakat kembali jelas. Di Jawa dan Lampung, rata-rata masyarakat memelihara sapi zebu, PO atau brahman. Di Madura tentu sapi madura sementara di Bali sapi bali. Sapi madura dan sapi bali ini banyak pula dipelihara di NTP dan NTT. Di kawasan transmigran atau pemukiman lain di Luar Jawa, Madura, Bali dan Lampung, sapi yang dipelihara tergantung dari masyarakat pemukimnya. Meskipun sekarang ada kecenderungan masyarakat untuk lebih memilih sapi bali serta madura karena daya tahanannya yang relatif tinggi terhadap kekurangan hijauan maupun serangan penyakit.

Dengan harga sekitar Rp 12.500,- per kg. hidup, dengan bobot rata-rata sekitar 300 sd. 400 kg. maka harga beli sapi jantan bakalan untuk digemukkan sekitar Rp 3.750.000,- sd. Rp 5.000.000,- Sapi-sapi lokal kita rata-rata akan mencapai pertambahan bobot hidup 0,5 kg. per hari. Sementara bakalan impor mampu tumbuh 1 kg. bobot hidup per hari. Namun biaya pakan dan perawatan sapi impor juga lebih tinggi dari sapi lokal. Sementara harga per kg. bobot hidup sapi impor, justru lebih rendah dibanding sapi lokal. Ibaratnya harga ayam broiler dengan ayam kampung. Dengan pertambahan bobot hidup 0,5 kg. per hari, kalau harga per kg. bobot hidup Rp 12.500. maka akan diperoleh marjin kotor Rp 6.250,- per hari. Dengan menggunakan pola menggaduh (maro), maka 50% dari marjin tersebut merupakan hak bagi pemilik modal. Hingga hak bagi pemelihara hanyalah Rp 3.125,- per ekor per hari. Dri marjin tersebut, 50% untuk biaya pakan. terutama konsentrat. Sebab hijauan biasanya akan dicari sendiri oleh si pemelihara. Hingga nilai "upah" bagi pemelihara sapi potong adalah Rp 1.562,50 per hari. Dengan kemampuan menggemukkan rata-rata sekitar 4 ekor, maka nilai penghasilan tenaga buruh penggemukan sapi adalah Rp 6.250,- per hari, dengan jam kerja antara 2 sd. 3 jam. Jam kerja ini akan digunakan untuk mencari hijauan, membersihkan kandang, memberi minum, memandikan sapi dll. Nilai upah ini setelah jangka waktu penggemukan selesai, biasanya 3 bulan, adalah Rp 140.625,- per ekor atau Rp 562.500,- untuk 4 ekor sapi.

Kalau penggemukan sapi ini dilakukan secara bisnis, maka nilai biaya yang harus dikeluarkan oleh investor adalah Rp 3.125,- per ekor per hari untuk sapi lokal, dan Rp 6.250,- per ekor per hari untuk sapi impor. Nilai biaya tersebut akan dialokasikan untuk penyusutan kandang, peralatan, perijinan dll, untuk pakan, obat-obatan serta tenaga kerja, termasuk untuk biaya manajemen. Jumlah minimal sapi lokal yang bisa digemukkan boleh hanya satu ekor dan sudah menguntungkan. Namun pada sapi impor, ada batasan minimalnya. Sebab mendatangkan sapi bakalan dari Australia, minimal harus satu kapal sebanyak sekitar 2.000 ekor. Hingga angka minimal yang harus digemukkan per angkatan adalah 2.000 ekor. Meskipun sekarang sudah ada pola "nempil". Seorang investor yang hanya memiliki modal untuk menggemukkan 20 ekor, bisa patungan dengan dua atau tida investor lain hingga terkumpul 40 sd. 60 ekor. Jumlah ini diusahakan untuk nempil (membeli sebagian kecil) dari pengusaha feedlot yang melakukan impor sapi bakalan. Apabila investor kecil tersebut sudah dikenal baik oleh importir, biasanya akan diberi "tempilan" sejumlah yang dibutuhkannya. Bahkan importir yang biasanya juga pengusaha penggemukan tersebut, akan menjamin pula pemasarannya apabila usaha yang dilakukan oleh si investor kecil tersebut berhasil. Patokan keberhasilan ini ditandai dengan angka mortalitas nol dan laju pertumbuhan minimal 1 kg. per ekor per hari.

Komponen utama usaha penggemukan sapi potong adalah pakan. Dalam penggemukan berskala bisnis modern, pakan utama adalah konsentrat plus silase. Hijauan, baik segar maupun kering hanya diberikan sekadar untuk "lauk pauknya". Sementara dalam penggemukan secara tradisional, pakan utama adalah hijauan (juga segar maupun kering), sementara pakan tambahannya hanya berupa dedak, ampas tahu, ampas singkong, tetes tebu dan pakan lain sesuai dengan ketersediaan setempat. Karenanya pertambahan bobot hidup rata-rata pada penggemukan secara tradisional hanyalah 0,5 kg. per hari. Meskipun sapi yang digemukkan merupakan bakalan impor, dengan pola penggemukan tradisional, sulit untuk mencapai pertumbuhan bobot hidup 1 kg. per hari. Sementara sapi lokal pun, apabila digemukkan dengan pakan utama konsentrat dan silase, sementara hijauannya hanya merupakan pakan tambahan, akan mencapai pertumbuhan bobot hidup lebih dari 0,5 kg per hari. Pada akhirnya, yang akan menentukan untung ruginya penggemukan sapi potong adalah komponen biaya pakan ini. Apabila kita bisa menemukan pakan yang mampu meningkatkan bobot hidup tinggi namun harganya murah, maka tingkat keuntungannya akan bertambah. Sebaliknya, penggunaan konsentrat pabrik secara berlebihan, akan menelan biaya tinggi, hingga pertumbuhan bobot hidup yang dicapai tidak mampu lagi menutup biaya pakan.

Hijauan murah yang selama ini masih belum termanfaatkan dengan baik untuk usaha penggemukan sapi potong adalah jerami padi. Kalau kita lewat kawasan Pantura atau sentra penghasil padi lainnya selama musim panen raya, maka akan tampak jerami yang dihamparkan di tengah sawah dan setelah kering langsung dibakar. Api (panas) yang ditimbulkan akibat pembakaran jerami ini, sebenarnya merupakan energi yang masih bisa diubah menjadi protein melalui pencernakan sapi. Di Gunung Kidul, DIY, pada musim kemarau sapi hanya diberi pakan jerami dan tebon (batang jagung) kering. Selulosa ini tentu sangat rendah gizinya. Namun di tahun 1950an, ketika pupuk urea diperkenalkan ke masyarakat, peternak di Gunung Kidul punya gagasan unik. Kalau mes (urea) bisa menyuburkan tanaman, mestinya juga bisa menggemukkan sapi. Maka mereka pun memberi sapi mereka sedikit urea pada minumannya. Biasanya air minum sapi ini dicampur dengan tetes, ampas singkong atau dedak. Di luar dugaan, ternyata sapi yang hanya diberi jerami dan tebon kering ini setelah mendapat urea benar-benar jadi gemuk. Dalam rumen (lambung sapi), memang terdapat bakteri penghancur selulosa. Dengan adanya starter urea plus karbohidrat, bakteri tersebut akan tumbuh pesat dan menghancurkan selulosa. Karena penghancuran jerami dan tebon kering ini dibantu oleh jutaan bakteri, maka penyerapan nutrisinya menjadi lebih optimal. Sementara bangkai bakteri berupa protein itu, merupakan gizi tambahan yang luarbiasa.

Sumber: http://foragri.blogsome.com

Pendapatan Dobel Berkat Kemitraan


Kemitraan sapi potong mampu menaikkan pendapatan peternak plasma hingga dua kali lipat.

Pola usaha kemitraan antara perusahaan besar dengan peternak plasma tidak hanya berlangsung di peternakan ayam pedaging. Di peternakan sapi potong pun hal itu ada. Kelompok Peternak Sapi Potong Cempaka di Kampung Astomulyo, Punggur-Lampung Tengah misalnya, telah menggandeng PT Great Giant Livestok Coy (GGLC), salah satu perusahaan pengemukan sapi di Lampung selama 11 tahun.

Surati, Ketua Kelompok Cempaka, mengungkap kepada AGRINA, kemitraan itu memungkinkan peternak memperoleh keuntungan yang lebih baik. Tak pelak jumlah anggota kelompok terus bertambah. Dulu ketika peternak menggemukkan sapi sendiri-sendiri, keuntungannya di bawah Rp500 ribu/ekor per periode. “Sekarang keuntungan plasma berkisar antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta per ekor,” katanya.

Dengan kepemilikan sapi rata-rata 2—3 ekor, plasma dapat mengantongi keuntungan minimal Rp1 juta—Rp2 juta per periode (70—90 hari). Mereka ini menggemukkan sapi dengan peningkatan bobot harian rata-rata (average daily gain-ADG) 1,5 kg dari bobot awal rata-rata 350 kg menjadi 435--440 kg.

Terjamin

Hingga saat ini, menurut Surati, terdapat 122 peternak yang tersebar di Kampung Astomulyo dan Negeri Cahyo, Kecamatan Punggur, Lampung Tengah menjalani pola kemitraan. Pada era 1990-an, kata dia, bermunculan kelompok peternak sapi di daerahnya. Namun saat itu cara budidayanya masih dengan menggembalakan sapi di sawah atau tegalan dan sorenya baru dimasukkan ke kandang.

Demikian pula perkembangbiakan sapi dilakukan secara alami antara sapi jantan dengan betina. Akibatnya pertumbuhan dan perkembangan sapi lambat dan hanya menjadi usaha sambilan bagi warga yang umumnya bercocok tanam padi.

Melalui kemitraan, peternak menerapkan pola budidaya semi intensif. Peternak yang mendapat sapi bakalan dari inti tinggal memberikan pakan konsentrat, kulit nenas, dan obat-obatan yang juga sudah dijamin penyediaannya oleh GGLC sebagai inti. Selaku plasma, peternak menanam rumput gajah atau hijauan lain.

GGLC menerapkan subsidi pada harga pakan konsentrat sehingga harganya terjangkau oleh plasma. Harga konsentrat Rp1.000/kg, dan kulit nenas Rp60—R65/kg. Dengan harga pakan murah, dari seekor sapi, peternak masih memperoleh keuntungan setelah dipotong harga sapi bakalan, pakan/konsentrat, dan obat-obatan.

Sementara itu, Didiek Purwanto, Direktur Produksi GGLC, mengatakan, dalam kemitraan, kelompok peternak mempunyai posisi tawar dalam penetapan harga, baik bakalan maupun hasil panen. “Namun, untuk sapi bakalan harganya sangat dipengaruhi oleh harga kontrak sapi bakalan yang didatangkan dari impor,” kata Didiek.

Hal itu dibenarkan Surati. Memang kelompok ternak yang memutuskan mengenai harga jual sapi. Jika kelompok menilai harga saat itu tidak menguntungkan, feedlot (inti) tidak bisa memaksa mengambil sapi di kelompok.

Tiap anggota tidak sekaligus menerima sapi, tapi diatur secara bergiliran. Misalnya, bulan pertama terdapat 100 plasma yang menerima sapi, bulan berikutnya 100 lagi, dan sisanya 100 plasma akan menerima sapi pada bulan ketiga. Pada bulan keempat, 100 plasma pertama sudah panen, selanjutnya panen di kelompok kedua dan ketiga. “Ini juga memudahkan pengaturan pemasaran dan mengantisipasi kekosongan sapi di kelompok,” jelas Surati.

Sistem seperti itu akan menciptakan kompetisi penuh antaranggota untuk menghasilkan sapi yang bagus dan peternak akan bersungguh-sungguh dalam menjalankan usaha.


Sumber: http://www.agrina-online.com/